Lelakon

Tirai-tirai mulai diturunkan dari tingkapnya, tidak ada tepuk tangan meriah, hanya ada tepukan malas-malasan dari sudut-sudut remang. Di atas panggung yang seharusnya mewah itu berdiri sesosok dewi, berlapis pupur dan berlapis gincu. Di kepalanya, tergerai surai sewarna tembaga yang molek. Saya ingin menelan ludah saya, tapi sepertinya gumpalan liur itu memilih tersangkut di batang tenggorok, lantas membuat saya tersedak. Lalu, sepertinya bukan lagi gravitasi yang menahan kaki-kaki saya tetap berdiri. Tatapan sepasang mata itu memaku saya hidup-hidup di tempat saya berdiri, hingga bernapaspun saya tidak berani.

Lalu sesuatu meledak.

Dan saya terbangun, kembali berkubang dalam genangan keringat dan kencing di atas kasur saya sendiri.

*

“Kupikir kau tidak merokok.”

Saya ingat saya terkekeh, dan hari itu hujan. Saya merapatkan syal hijau yang meliliti leher saya, sementara ia merapatkan tudung jaket ke kepalanya, menutupi surai indah yang membuat banyak laki-laki tergila-gila. Saya lalu menghirup rokok saya dalam-dalam.

“Kenapa saya harus tidak merokok?”

“Kenapa kamu harus merokok?”

Saya tidak pernah berhasil membalas pertanyaannya. Saya selalu terpojok di sudut loteng paling gelap dan berdebu, dengan benang laba-laba yang terjulur ke arah saya, memintal saya ke dalam kegelapan paling liat di dalam pekat. Lalu, saya hanya akan terpekur melihat sepasang boots yang sudah menjadi alas kaki saya selama dua tahun, membayangkan sepasang mata kenari itu membalas tatapan saya dari bawah sana, membayangkan lengkung senyum yang selalu terlukis di wajahnya. Senyum itu terlukis bukan untuk saya seorang, saya tahu. Ia harus senantiasa tersenyum agar orang-orang suka terhadapnya, ia harus tersenyum karena dia adalah pelakon. Karena dia adalah bintang yang harus bersinar paling terang di antara bintang-bintang lain yang senantiasa menyepuh diri mereka hingga berkilau di jajaran galaksi.
Lalu, saat saya menemukan suara saya lagi untuk menjawab pertanyaannya, dia sudah menghilang. Membaur di antara deretan para bintang yang berlomba-lomba menonjolkan kemilaunya, hingga langit dibuat resah.

*

Saya memiliki panggung paling mahal di dunia, saya harus membayar dengan hidup saya untuk memilikinya. Saya harus merelakan waktu saya, merelakan waktu berarti merelakan kebersamaan dengan keluarga. Merelakan waktu, berarti hanya malam-malam sepi yang tertinggal selain ampas kopi.
Saya hanya punya ponsel pintar yang bodoh, dan seekor kucing yang malas.
Saya ingin keluar, meliar, lalu menggeliat di bawah langit yang sama yang menaungi manusia normal lainnya. Manusia yang punya keluarga, kawan, saudara, rekan, pacar, dan lain sebagainya.

Saya mendengar sesuatu mendesis.

Cermin saya sedang sinis. Kemudian, getaran konstan dari ponsel saya memecah angan saya yang berkelana, layarnya berkedip, dia menelepon, dan saya tidak tahu harus menjawab apa.

Saya memukul cermin karena ia tidak mau berhenti mendesis.

Saya bermimpi, di atas panggung yang saya miliki, dewi itu melakonkan sandiwara dengan sempurna. Tubuhnya berkilat karena keringat, rambutnya basah, dan saya bermimpi saya sedang mengendus dengan rakus aromanya. Aroma itu, satu-satunya yang sanggup menentramkan gelisah saya sepanjang waktu. 

*
Kenapa kamu menghindari saya?

Saya tidak menghindar.

Kamu bersikap seolah tidak mengenal saya.

Saya manager, saya harus memastikan semua berjalan sesuai rencana. Semuanya bergantung pada saya, saya tidak ada waktu…

Tidak ada waktu untuk saya?

Dia lalu berpaling, menyembunyikan dua genangan air yang mulai terbentuk di kolam matanya. Saya benci airmata. Saya benci kenapa dia harus menangis sementara saya tidak ingin melihatnya menangis.

Saya memilih memarahi seseorang yang memasang tirai. Mencari-cari alasan dan menaikkan volume suara saya, hingga membuat pekerja serampangan berkepala botak itu gemetar tertahan. Menangis sana, saya tidak ada masalah jika kamu yang menangis, tapi laki-laki botak itu tidak menangis. Bintang saya yang sedang menangis, dan saya harus menawarkan bahu saya seperti seharusnya. Namun seperti biasanya, saya hanya berlalu dan membiarkan isakan itu menguap bersama angin. 

*
Dia tidak menjawab telepon saya, ponsel pintar saya yang bodoh ini bahkan tidak bisa membuat dia menjawab panggilan saya.

“Besok gladi resik. Jaga kesehatan.”

Pesan saya tidak berbalas.

***

Tirai-tirai mulai diturunkan dari tingkapnya, tidak ada tepuk tangan meriah, hanya ada tepukan malas-malasan dari sudut-sudut remang. Di atas panggung yang seharusnya mewah itu berdiri sesosok dewi, berlapis pupur dan berlapis gincu. Di kepalanya, tergerai surai sewarna tembaga yang molek. Saya ingin menelan ludah saya, tapi sepertinya gumpalan liur itu memilih tersangkut di batang tenggorok, lantas membuat saya tersedak. Lalu, sepertinya bukan lagi gravitasi yang menahan kaki-kaki saya tetap berdiri. Tatapan sepasang mata itu memaku saya hidup-hidup di tempat saya berdiri, hingga bernapaspun saya tidak berani.

Dewi itu menyunggingkan senyumnya perlahan, dan sebelum saya bergerak, sesuatu meledak.

Saya melihat genangan merah membasahi lantai kayu yang kini di atasnya, membujur tubuh dewi.

Saya tidak bisa berteriak seperti adik saya berteriak serak. 

“Ibu!”

Sepuluh tahun kemudian, saya kembali ke panggung Ibu, panggung paling mahal yang pernah saya miliki, karena saya membayarnya dengan waktu. Membayar dengan waktu, berarti merelakan kebersamaan dengan keluarga. Kebersamaan dengan keluarga berarti saya msminggalkan adik saya. Meninggalkan adik saya kepada paman yang ternyata adalah pembunuh Ibu yang diakuinya saat mabuk dan meniduri adik saya, bertahun-tahun yang lalu, sebelum menjualnya kepada mucikari. Ia berpindah-pindah mucikari dan tak pernah berhasil lari, sampai akhirnya, bos saya menjadikannya gundik, kemudian dia menjadi bintang di panggung saya.

Panggung ini adalah panggung paling mahal yang pernah saya punya. Dan dia sedang menangis, lagi-lagi, saya tahu dia menangis karena punggungnya bergetar menahan sesak yang menghimpit dadanya.

“Jangan menangis lagi.”

Saya menjulurkan kotak yang berisi rokok lintingan sendiri. Di dalamnya saya menambahkan sejumput fantasi.

“Saya tidak merokok.”

Dia mengusap matanya dengan punggung tangan sebelum melanjutkan dengan suara parau.

“Kamu sudah meninggalkan saya, dan sekarang kamu mengabaikan saya.”

“Saya harus minta maaf akan itu. Kamu boleh merokok. Usiamu sudah dua puluh.”

“Kenapa harus merokok?”

Saya siap terbelit jaring laba-laba dan terhimpit ke dalam gelap yang liat memadatkan pekat saat saya melihat bibir adik saya berubah menjadi bibir Ibu.

“Merokok sajalah, tidak perlu bertanya kenapa.”

Lalu ayah saya akan menamparnya. Saya ingat, saya mengoleskan alas bedak tebal-tebal untuk menutupi bekas merahnya, dan saya tahu, perih yang sebenarnya berada dalam hati ibu.

“Merokok sajalah, tidak perlu bertanya.”

Saya menjawab, dan adik perempuan saya itu mengambil sebatang hanya untuk dipatahkannya menjadi dua.

“Saya tidak ingin seperti Ibu.”

Saya ingin sekali menamparnya.

***

Saat itu Paman sedang mabuk dan ia mengacungkan senjata itu ke kepala adik saya.

Bagaimana saya tahu?

Saya memiliki panggung paling mahal sedunia. Panggung mahal yang saya beli dengan waktu. Dengan waktu berarti dengan segalanya. Saya pergi dari rumah bukan tanpa alasan. Saya mencari tahu di mana ayah saya saat ibu saya terbunuh.

Dia sedang menangisi mayat ibu, di atas gundukan tanah makam yang masih penuh bunga-bunga. Ibu sangat suka bunga, tapi ayah tak pernah memberikannya.

“Terlambat, yah.”

Saya ingat saya berkata, dan paman saya yang gila menghardik saya keluar dari pemakaman. Saya bilang saya mau pergi dan saya menitipkan Aliyha, dia mengiyakan tanpa menanyakan saya akan kemana.

Saya tidak berpikir Paman saya yang tampak berbudi adalah iblis paling keji. Segera setelah saya pergi, saya dengar kabar ayah saya gantung diri. Namun saya tidak mencari tahu kabar Aliyha, adik perempuan saya yang satu-satunya karena saya sibuk menata anak tangga demi panggung milik ibu. Selain itu, saya percaya ada paman yang menjaganya untuk saya. 

Saya menyusun anak-anak tangga, sepotong demi sepotong dengan tubuh dan keringat dan darah saya. Saya menghitung lebih dari tiga kali rahim saya berbuah dan tidak satupun saya biarkan tumbuh dan berkenalan dengan dunia.

Tidak. Tidak, satupun saya biarkan berkembang demi kelak memanggil saya, Ibu. 

Saya berkenalan dengan orang-orang Lelakon, ikut mementaskan lakon dari satu panggung ke panggung lain sembari melacur dari satu laki-laki, ke lelaki lain. Mabuk dari satu pentas ke pentas lain, hingga akhirnya saya ingin menciptakan panggung saya sendiri. Dan saya sadar, satu-satunya panggung yang saya inginkan adalah panggung Ibu.

Saya lalu memutar roda kendali, berpindah dari pelakon menjadi pengarah lakon, lalu menjadi penanggung jawab panggung, kemudian menjadi penyusun lakon, dan pada akhirnya, saya menjadi penguasa panggung. Semua darah dan keringat dan tangis yang sembunyi-sembunyi itu, pada akhirnya saya memetik hasilnya.

Saya banyak mengenal manusia, dan saya memanfaatkan mereka. Saya kembali ke kota saya, dan mereparasi panggung yang sudah saya beli. Lewat mereka, saya mencari tahu segalanya. Termasuk adik saya yang sudah dijual oleh paman saya yang gila.

Lalu dia muncul. Adik yang saya tinggalkan itu: Aliyha.

Dia menangis, dan saya tak sanggup untuk memeluknya.

Saya mendengarnya berteriak bahwa dia sedang mencari saya.

Saya meninggalkannya di depan panggung dan dia masih menangis.

***

Dia adalah bintang dan saya adalah tuhan pemilik panggung jagat raya. Saya menemukan laki-laki, yang dulu kepadanya saya titipi adik perempuan saya, dan dia malah menjualnya setelah sebelumnya menidurinya dengan paksa.

Dan dialah yang menembak ibu saya.

Saya bertanya kepadanya, mengapa?

Dia hanya memamerkan gigi geliginya yang menghitam karena tembakau.

“Anak sundal, sudah jadi sundal pula kau rupanya.”

Saya menendang mulutnya. Dia terikat seperti binatang buruan yang rusak dan hina. Dia pikir dia menyewa saya, tak mengenali keponakannya yang tertua. Ia pikir ia sedang asyik bersama pelacur ibukota yang sedang berlibur ke kotanya bersama rombokan pelakon yang akan memainkan Lelakon di panggung ibu. 

Kenapa, saya tanya lagi.

Dia semakin terkekeh-kekeh.

“Sundal itu mengataiku cebol tak tahu malu, aku cuma kepengen pegang susunya. Ha ha ha!”

Saya menembak, tepat di antara ke dua matanya, tempat di mana pelurunya dulu bersarang di kepala Ibu, tapi saya belum juga merasa lega. 

Ponsel pintar saya bergetar, alarmnya menyala. Lima menit lagi, pertunjukan bintang-bintang di jagat raya saya dimulai. Saya mengisi kembali peluru di pistol dan menyelipkannya di celana. Mayat cebol itu membelalak ke arah saya. Dan saya menginjak tepat kemaluannya.

***

Panggung usang itu mendadak gempita. Orang-orang bertepuk riuh, dan siulan bersahut-sahutan memekakkan telinga. Badan saya berkali-kali dipeluk, tangan saya berulang kali dijabat, dan rambut saya diacak-acak. Ucapan selamat terpantul-pantul di udara. Panggung saya sukses, dan pentas Lelakon di atasnya mengundang decak kagum penontonnya.

Tirai sebentar lagi diturunkan dari tingkap-tingkapnya, dan saya mendekat ke arah panggung, mencari bintang saya yang paling benderang, memanggilnya cukup keras hingga orang-orang menoleh, menonton.

“Aliyha!”

Dia tertawa begitu bahagia, sepasang lengannya terentang, setengah berlari menyongsong tubuh saya, kemudian saya menembak kepalanya.

Saya sudah bilang saya memiliki panggung paling mahal sedunia. Saya membelinya dengan segalanya. Segalanya berarti sudah tidak ada yang tersisa. Saya meledakkan kepala saya saat seseorang lain mulai menjerit di belakang saya.

Solo, 23 Januari 2016