TARIAN HUJAN

“Harus ada yang di korbankan, baru hujan akan datang..” kata Ki Slamet Wijoyo muram. Seketika ruangan para sesepuh adat itu menjadi hening. Raut muka Ki Slamet menjadi semakin murung saat mengucapkan kalimat berikutnya “Perawan, 17 tahun, lahir Selasa Pahing. Purnama penuh, Tlogo Banyu.” Beberapa orang tampak ketakutan sambil menahan napas. “Tapi Ki,
sudah puluhan tahun ritual mengorbankan gadis perawan di telogo itu dihilangkan” sela seorang pria setengah baya di sisi Ki Slamet. Ki Slamet menghembuskan asap rokok dari mulutnya, seraya berkata “Aku hanya menerima mimpi dari Kanjeng Roro Candramanik, Ratu Tlogo Banyu, yang menjaga desa ini. Dia meminta perawan, sudah lama kita mengabaikannya, dan lihat desa kita kering kerontang seperti ini!”
Bapakku yang berada di seberang meja Ki Slamet menghela napas panjang seraya menggumam “Savitri anakku, 17 tahun, perawan dan lahir Selasa Pahing.” Beberapa pasang mata menatap bapakku dengan pandangan ingin tahu. Beberapa lainnya mulai berbisik-bisik. Sepertinya keputusan sudah bulat, akan ada perawan yang di korbankan di telaga itu. Perawan itu sepertinya aku.
**
Desa ini hampir mati kekeringan. Susah sekali mendapatkan air bersih. Kami semua harus berjalan berkilo-kilometer jauhnya ke mata air kecil di balik bukit demi seember air. Tanaman petani mati, ternak-ternak kelaparan karena rumput-rumput menghilang dan hanya menyisakan hamparan tanah kering. Pepohonan meranggas, serta hutan sering terbakar karena terus menerus tersengat matahari. Sudah bertahun-tahun para dewata tidak mencurahkan hujan di desa ini. Kanjeng Roro Candramanik yang kami percayai menjaga desa ini meminta tumbal perawan demi datangnya hujan. Aku yakin, penduduk desa ini akan melakukan apapun asalkan hujan bisa segera membasahi bumi yang kering kerontang ini. Sedikit ketakutan menelusup di dalam batinku, aku tak bisa di jadikan tumbal, aku tak mau, aku takut. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhku, sebentar lagi pasti warga desa berduyun-duyun mendatangi rumahku menuntut agar aku di korbankan.

**
Siapa lagi yang berusia 17 tahun dan lahir Selasa Pahing? Setahuku hanya aku dan Sulastri, tapi Sulastri gadis kembang desa itu sudah lama menikah. Tidak ada yang berani menentang Ki Slamet, dia konon adalah titisan dewa. Setiap perkataannya serupa sabda yang selalu dituruti semua warga. Bagaimanapun, dialah yang menjaga desa kami dari wabah bencana dan penyakit. Cepat atau lambat, aku pasti akan segera di lemparkan ke Tlogo Banyu, danau yang angker di tengah hutan itu. Aku mendesah, sembari melangkah gontai pulang ke rumah. Ah Ki Slamet, tegakah ia menjadikanku sebagai tumbal? Kulihat bulan mulai memancarkan cahayanya lebih benderang di banding biasanya. Malam ini sepertinya purnama. Setengah berlari aku menuju rumahku, malam ini akan diadakan ritual! Batinku berteriak ngeri.
**
Suara bapakku terdengar tegas dan dalam saat menceritakan keputusan para tetua adat demi mendatangkan hujan. Aku tidak terkejut, aku sudah mendengar semuanya sore tadi saat mengantar pisang goreng ke ruangan rapat itu. Suara bapak menyiratkan luka, namun penuh tekad. “Savitri, kau sudah dengar bapak. Hanya kau yang berusia 17 tahun dan perawan, yang lahir Selasa Pahing” ibuku terisak perlahan, aku tahu perasaan keduanya, tidak rela namun harus mengorbankanku. Terdengar suara-suara berteriak di luar rumah, ternyata warga desa sudah berarak membawa obor dan sesajen. Suara teriakan  “Korbankan Savitri! Korbankan Savitri!” menggema di seluruh penjuru desa. Aku mengigil ketakutan, kulihat Ki Slamet berada di barisan terdepan mengangguk mantap kepadaku. Dia harus menghentikan semua ini!
**
Kaki dan tanganku diikat ke sebuah bambu yang dibentuk seperti tandu. Aku mengenakan pakaian adat dan dirias, selayaknya akan bertemu ratu. Aku menangis mencoba memberitahu semua orang bahwa semua ini sia-sia. Jeritan minta tolongku hanya berbalas kisikan angin serta nyanyian pemujaan untuk Kanjeng Roro. Sebagian warga mulai menari, ada yang memukul-mukul genderang. Ki Slamet duduk di sisi tebing yang menghadap telaga sembari berkomat-kamit membaca mantra. “Kanjeng Roro terimalah perawan suci ini sebagai persembahan kami.. Hadirkan hujan bagi kami.. Restuilah Kanjeng Ratu..” Suara Ki Slamet menggelegar membelah hiruk pikuk keramaian genderang dan nyanyian pemujaan. Para lelaki yang menggendong tandu bambuku mengambil ancang-ancang bersiap melemparku ke dalam telaga. Bapak dan ibuku berpelukan di sisiku, aku mencoba meyakinkan mereka ini semua sia-sia “Pak, bu.. Tidak akan ada hujan bu, aku tidak layak.. Aku.. Aku..” suaraku tertelan keriuhan yang semakin
menggila. Sedetik kemudian kurasakan air membanjiri diriku, ke mata, ke hidung, dan ke mulut. Sorak sorai terdengar dari atas tebing, tempat aku di lontarkan. Hatiku terkoyak saat kulihat Ki Slamet masih memandangiku dengan sorot mata puas. Dia pasti sengaja melakukan ini! Dia sengaja membunuhku! Sia-sia aku berenang mencoba menggapai ke permukaan. Pekatnya air nyaris membuatku mustahil untuk menghirup udara.

Aku melayang-layang menuju dasar telaga dengan putus asa dan kesedihan luar biasa. Hujan tidak akan datang.
Tidak ada yang tahu, ada benih nyawa antara aku dengan Ki Slamet di rahimku. Tak ada yang tahu kesetiaanku menunggunya melamarku. Masa depan yang dijanjikan Ki Slamet ternyata hanya telaga yang mencekik nyawaku.

Tinggalkan komentar