Cermin-cermin Berderak

Rambutku ikal bergelombang berwarna keemasan, mengkilat sehalus sutera. Mataku berwarna hijau zaitun, di hiasi bulu mata yang lentik. Hidungku menjulang ramping di antara belahan pipiku yang merona. Jangan tanyakan bibirku, yang merupakan bagian terbaik dari wajahku. Bibirku tipis, serta lembut berwarna merah muda.

Aku mengenakan gaun sutera berenda berwarna toska. Sepasang sarung tangan lembut membungkus jari-jariku yang lentik, dilengkapi dengan cincin berhiaskan emerald kuno yang sangat langka. Aku memakai sepasang sepatu kaca yang cantik, yang berpendaran berkilau-kilau tertimpa sinar lentera.
“Sampai kapan kau terus bercermin seperti itu Rose?” sebuah suara menghalau pandanganku dari cerminku. Di dalam cermin, gadis sempurna dengan tatapan mempesona itu melirik suara yang mengusiknya, seraya mendesah.

“Ayolah, sudah lama kita tak berkuda” sambung suara itu lagi. Albert, suamiku tampak setampan biasanya, dengan memakai setelan pakaian berkuda, dan sepasang sepatu boots dari kulit berwarna cokelat tua. Sebuah topi bundar bertengger di kepalanya. Aku membenarkan letak topi itu, sekilas aroma maskulin menguar dari tubuh Albert. “Oh Albert, cuaca sedang sangat panas, aku malas pergi keluar.” Aku memasang muka memelas. “Kau tak ingin kulit cantikmu terbakar matahari Rose? Kau tidak ingin pergi ke danau kita?” pancing Albert.

Oh danau! Danau yang terletak di lereng gunung itu, yang berpermukaan tenang, serta sangat cantik di hiasi teratai-teratai berwarna ungu. Satu hal yang terbaik dari danau itu, aku bisa melihat bayanganku jauh lebih cantik di banding cermin-cermin di rumahku. Bayangan itu terasa agung, namun misterius karena berada di dasar danau. Aku mengangguk bersemangat, lalu mengganti gaunku dengan celana panjang berbahan denim, serta jaket kulit yang merupakan hadiah Albert untukku. Rambutku yang panjang kuikat kencang ke puncak kepalaku. Butuh beberapa jam lamanya di depan cermin untuk memastikan penampilanku sempurna.

Aku menemui Albert yang sudah setengah mengantuk di beranda depan. Ku guncang perlahan pundaknya. “Lama sekali kau!” sembur Albert. “Aku hanya ingin terlihat sempurna” sahutku “Kita jadi berkuda? Sepertinya sore ini akan sangat indah” seruku sambil berjalan menuju kandang kuda. Aku tak mendengar desisan kekesalan Albert mengenai betapa cintanya aku pada diriku sendiri.

Benar saja, danau itu sangat indah! Aku lebih suka duduk di pinggiran danau, sembari mengamati bayanganku yang terpantul di atasnya. Oh aku benar-benar tampak misterius di dalam air.
Serupa dewi air yang agung! Tapi dewi air yang sedang memakai kostum berkuda tentunya! Aku terbahak karena pikiranku sendiri. Senja mulai turun menyapa, kulihat Albert tak nampak di sekelilingku. Ah, mungkin dia sudah pulang. Kuputuskan untuk kembali ke rumah, lagipula secinta-cintanya aku pada danau ini, aku lebih senang menghabiskan waktu dengan cermin-cerminku di kamar. Melihat diriku melalui cermin itu, bukan hanya untuk mengagumi betapa sempurnanya diriku. Aku juga sering membayangkan bahwa aku hidup di negeri dongen bersama pangeran tampan, yang memiliki istana yang dikelilingi padang mawar. Albert tentulah pangeranku, tapi dia tidak romantis. Dia tidak peduli pada hal-hal yang bersifat sentimental. Dia terlalu realistis, terlalu fokus menjalankan peternakannya. Hari ini pun, dia mengajakku berkuda, namun lantas meninggalkanku sendirian. Pastilah dia memiliki urusan sendiri, batinku mencari kesimpulan sendiri.
**
Rose, kau tak akan menemukan sebuah cermin pun di dalam rumah kita. Aku telah menghancurkan semuanya, ku banting ke lantai kita, bunyinya sungguh memilukan, meninggalkan derak kesunyian. Rose, sudah saatnya kau hidup di dunia nyata, bukannya mengagumi dirimu sepanjang hari. Benar, kau memang serupa putri yang luar biasa. Bukan berarti kau menghabiskan waktumu sepanjang hari bercermin dan berkhayal. Aku akan membuatmu tersadar, bahwa kamu nyata, aku nyata, hubungan kita nyata. tak akan kubiarkan kamu terhanyut akan cintamu yang begitu memuja dirimu sendiri. Maafkan aku Rose, cermin-cermin ini tak lagi ada gunanya.
**
Aku melihat Albert sedang mengamuk di kamarku. Dia memecahkan semua cermin yang kupunyai! Di pukulnya dengan buku-buku jarinya sampai berdarah, di bantingnya ke lantai kuat-kuat. Dia terus menerus melelehkan air mata. Setiap bayanganku seakan ikut hancur bersama cermin-cermin itu menjadi ribuan serpih yang terhampar dimana-mana. Aku menghambur ke arah Albert, mencoba menghentikannya. “Albert! Kau gila! Apa yang kau lakukan dengan semua ini!” tuntutku marah. Sejenak Albert mengalihkan tatapannya padaku “Kau harus berhenti memuja dirimu sendiri seperti itu Rose! Tak ingatkan kau akan Dewi Narcissa yang menenggelamkan dirinya ke danau karena begitu memuja bayangannya?” suara Albert bergetar penuh amarah. “Kau akan tenggelam dalam pemujaanmu sendiri Rose! Pemujaan terhadap dirimu sendiri!” sambung Albert sambil membanting cerminku yang terakhir, gagal, tidak pecah seutuhnya, hanya menghasilkan suara berderak. “Berhentilah kau!” seruku seraya melindungi
cermin itu dari jangkauan Albert. “Minggir! Ini demi kebaikanmu!” Albert mendorongku, begitu kuatnya, sampai aku terpental ke dinding. Kurasakan sesuatu merembes keluar dari kepala dan hidungku. Pandanganku mulai menggelap seiring derak mengerikan dari cerminku yang terakhir, terhempas berkeping-keping.

Tinggalkan komentar