Perjalanan Setengah Tahun

Anak lanang yang dulu menghuni rahimku itu kini genap setengah tahun. Mikhael, sang malaikat pengayom pembawa terang, begitulah aku menamainya. Dagna, sang cahaya, aku memanggilnya. Aku mendoakan segala terang untuknya, dan gelap pasti tetap menjadi bayangannya, tapi aku tetap berdoa, segala kebaikan selalu kudaraskan untuk anak lanangku.

Sang Halomoan, sang kesayangan, Nababan, si batak nomor dua puluh satu. Siabangan bagi opung Nababan sekeluarga. Dia dicintai, dan aku berterima kasih pada alam raya atas berkat yang luar biasa ini.

Hari ini, genap perjalanannya setengah tahun, setelah kami berbagi tubuh lebih dari empat puluh minggu. Kami tidak lulus asi esklusif. Anak lanangku menolak menyusu langsung. Batak cilikku sudah merasakan manisnya buah apel dan pear di usianya yang baru setengah tahun kurang dua minggu.

Tidak apa-apa.

(Aku tidak akan menuliskan alasannya, aku hanya akan menuliskan alasanku ada hanyalah karena dia ada.)

Seperti yang telah kutulis, kami berbagi tubuh lebih dari empat puluh minggu. Di waktu seharusnya ia sudah menyundulkan kepalanya untuk merobek jalan lahir, ia memilih tenang, meringkuk diam-diam di dalam sana. Nyaman sekali, ya nak, di sana?

(Iya, ingin kukatakan dunia kejam, tapi biarlah ia akan mencicipinya sendiri, nanti. Seperti kata pepatah, tempat ternyaman adalah rahim ibu, namun tentu saja, kau tidak akan bisa meringkuk di sana selamanya! Hidup bukan hanya cari nyaman, nak! Hidup akan menempamu menjadi kuat dan tegar. Aku, tidak akan menuliskan bahwa kau harus kuat, kau harus tegar, tidak! Kau akan menjadi kuat karena Sang Hidup itu sendiri yang akan membuatmu kuat.)

Lalu akhirnya, karena tidak ada tanda-tanda kontraksi alami, dan air ketuban sudah menyusut habis, kami harus berjuang di meja operasi tanpa persiapan. Sama sekali. Tetapi Tuhan berkehendak semua lancar, meskipun sebelum pisau-pisau bedah itu mengiris perut dan dagingku, aku sempat was-was. Denyut jantung anak lanangku itu terlalu bekerja keras akibat asupan oksigen yang minim karena air ketuban yang sudah hampir habis.

Tapi sekali lagi, Haleluya! Kuasa Tuhan tidak ada yang menyangka. Syukur kepada Allah!

Pukul sepuluh lebih tiga puluh menit, tangisan itu merobek malam hening. Aku menangis. Bahagia. Haru. Tidak siap. Grogi. Waswas. Campur aduk… .

Lalu bayi merah yang masih penuh darah dan sisa ketuban itu didekatkan padaku. Aku ingin merangkul, mendekap ia erat, ingin kelekatkan tubuh mungil itu hangat di dada, dan menciumi pipinya yang bulat.

Namun aku tidak kuasa. Sepasang kakiku masih mati rasa. Sepasang tanganku diikat tali longgar, masih ditancapi infus dan sebagainya. Aku hanya bisa mencium kening anak lanang itu, dan berujar “Selamat datang, nak. Ini mama,”

Selanjutnya, Bapa Kami dan Salam Maria menjadi daras ujaran pertama dari bapaknya. Aku tahu, bapaknya pasti menangis. Sama merasakan hal yang aku rasa.

(Terima kasih, aku tahu kamu ayah yang baik untuk anak lanang yang sekarang sudah genap enam bulan dan sedang senang-senangnya berguling-guling di kasur. Dia selalu membuat kita waswas karena sewaktu-waktu bisa saja ia terguling, dan hanya lantai keras yang akan menangkapnya. Yang paling kencang menangis kesakitan setelah tangisan anak itu, tentu saja aku.)

Kami bukan orang tua yang sempurna, nak! Aku masih suka mengeluh: lelah, menjaga anak lanang itu seharian. (Padahal, konon hal itu adalah terlarang. Ibu tidak boleh bilang capek buat anaknya. Masa bodo, nak! Aku kalau tidak mengeluh, pasti sudah jadi bidadari. Atau, malah sudah mati. Tapi aku tidak akan mengeluh terus-menerus. Janji!)

Nak, maaf, ucapan selamat setengah tahunmu ini jika kau baca suatu hari nanti (dan saat kau sudah bisa membaca, kau pasti sudah mengenal betapa ruwetnya isi kepala mamakmu ini), jangan heran ya! Tertawa saja, dan jambak mamakmu seperti yang biasanya kau lakukan. Atau, guling-guling saja dari ujung kasur ke tempat mamakmu rebah, minta cium lalu nyengir seperti saat gigimu masih ompong.

Bertumbuhlah seperti semestinya, Dagna. Aku, ibumu, mamak ikan pausmu, tidak akan memaksa, apalagi menghalangi jalan yang mana saja yang hendak kau pilih, yang paling terjal sekalipun. Aku hanya akan berpesan, hati-hati, sejauh apapun kakimu membawamu jauh, pergi dari ibumu, selalu, ingatlah pulang, ke rumah di mana ada ibu yang mendekapmu, di mana ada ayah, yang mendoakanmu.

Saat di persimpangan, kenanglah rumah, ingatlah bagaimana ayah dan ibumu pernah memberitahumu akan sesuatu,dan jika ingatanmu tidak terlalu sempurna, ikuti saja terang yang selalu ada dalam hatimu. 

Selamat ulang bulan yang keenam, nak!

Selamat bertumbuh, Mikhael Dagna Halomoan Nababan!