Luka

by Adellia Rosa @adelliarosa dan Angghie Gerardini @njiegerardini

“Bodoh! Kemana matamu?” Bentak ayah gusar, wajahnya mengeras karena amarah. Aku baru saja melempar guci kesayangannya dengan palu. Tangannya melayang siap menamparku. Kupejamkan mata menahan ketakutan, tubuhku gemetaran.

Ajaib, tangan ayah berhenti di udara, setengah berdecak, ia berjalan melewatiku, kearah gucinya yang hancur. “Buat apa palu ini?” tanya ayah, lebih pelan namun kemarahan masih jelas tergambar di wajahnya. “Memasang foto, Yah… Foto kita…,” sahutku, masih gemetaran. Ayah mengerutkan kening, setengah heran. “Kau masih mengharap ibumu?” Tanya ayah dingin. Aku mengangguk ragu-ragu.

Satu tamparan keras mendarat di salah satu pipiku. “Anak bodoh! Apa sekolahmu begitu payah melatih otakmu? Tak ada lagi tempat untuk ibumu di sini, meskipun hanya fotonya,” ujar ayah pelan, tapi tak pernah mengurangi kegarangan dalam suaranya. “Bersihkan!” Perintah ayah kemudian, lalu meninggalkanku yang semakin gemetaran. Ketakutanku makin liar berjingkatan. Air mataku mengerih kesakitan. Kurasakan betul rindu yang makin rimbun di pucuk-pucuk hatiku.

***

Malam itu udara berkabut, aku baru pulang bersama ayah dari kediaman nenek. Ibu tidak ikut serta, beliau mengeluh sakit kepala. Aku turun dari mobil dengan setengah berlari memasuki rumah. Ingin segera bercerita betapa menyenangkan di rumah nenek. Kue-kue pai hangat disajikan masih hangat mengepul, susu-susu yang masih berbuih, buah apel merah ranum yang baru saja dipetik. Suasana pedesaan yang indah, ingin sekali mengajak ibu kesana.

Alangkah terkejutnya aku dan ayah mendapati rumah dalam keadaan hingar bingar. Orang-orang berdansa, bermandi peluh dimana-mana. Bau minuman murahan tersebar di seluruh ruangan, bercampur dengan desahan dari suara-suara asing yang tak kami kenal.

Ibu tidak ada di bawah, tidak berbaur dengan hiruk pikuk pesta. Aku melihat kamarnya terkunci dari dalam. Ayah mendobraknya dengan garang. Kesetanan, ayah membabat pria yang asik bercumbu bersama ibu, duduk membeku di bangku meja rias ibu. Pria asing itu roboh, tergeletak tanpa nyawa.

Kejadian malam itu kembali berkelebatan di ingatanku, setengah berteriak aku memaksa diriku melupakannya. Kuusap peluh yang deras di dahiku. Aku duduk melipat lutut, bersandar di punggung ranjangku, membenamkan isak dalam-dalam hingga hanya aku dan Tuhan yang mendengar tangisku.

Aku berdiri, ragu melangkah ke meja belajar di depan jendela yang memantulkan sinar purnama nanar. Bergetar, kuraih silet mungil di atas meja. Sejenak aku memainkannya, memutarnya berirama. Hingga tajamnya melandas lembut di lenganku yang mulus. Kugigit bibir bawahku, menahan perih yang tercipta sebab goresan itu. Ada sensasi berbeda melihat darah segar menganak sungai di tanganku. Darah segar yang berhulu pada kata IBU di lengan kiriku. Ibu, yang memilih pergi entah kemana setelah malam itu.

Aku tertawa histeris, darah yang mengalir tanpa henti seakan semakin memabukkanku. Tak kuhiraukan diluar kamar, ayah membanting semua barang yang bisa diraihnya. Melampiaskan kekesalannya. Tak kuhiraukan ia mulai berteriak parau, memanggil-manggilku. Mungkin ayah butuh bantuan, mungkin hanya butuh pelampiasan.

Ya, pelampiasan. Sejak malam jahanam itu, ayah melampiaskan semuanya padaku. Amarah, nafsu, putus asa. Semuanya ia tumpahkan padaku. Sejak malam dimana aku membantunya mengubur pria asing yang mencumbu ibuku, di taman mawar belakang rumah. Taman favoritku bersama ibu.

Darah semakin menderas di lenganku, wajah ibu di balik bingkai foto ibu seakan tertawa mengejek kebodohanku. Menantangku untuk mencari kebebasan, sama seperti yang ia lakukan, saat mengubah rumah kami menjadi ajang pesta liar yang bingar. Aku memutuskan menjawab tantangannya.

***

Suara musik yang hentak memekakan telinga. Hingar bingar orang-orang membuatku pusing tak kepalang. Puluhan mata memandangku nanar. Mungkin belum terbiasa melihat gadis berusia 15 tahun sedang berdiri kebingungan di klub dewasa, bahkan berniat untuk bergabung, berkubang di kehidupan malam yang kujadikan pelampiasan. Pelampiasan dari segala rasa yang membuatku merasa tertekan.

Lambat laun akupun hanyut dengan liukan badan di lantai dansa. Aku larut dalam suasana yang… Ah, entah apa aku harus menyebutnya, yang jelas aku sangat menikmatinya! Suasana yang membuatku hanyut dan lupa akan segala hal yang menekan batinku tanpa iba dan ampun.
Sepasang mata mengawasiku dengan liar. Sesekali menelan ludahnya, belingsatan. Aku tahu isi kepalanya, semua pria sama saja. Persis seperti pria asing yang mencumbu ibuku atau bahkan ayahku. Aku mendekatinya setengah terpuruk. Aku lupa aku masih terlalu muda, aku lupa aku di mana. Aku hanya merasakan berbagai sensasi bersama pemilik mata yang mengawasiku di sudut klub. Aku bahkan tidak ingat namanya. Aku hanya ingat, aku terbangun dengan pakaian berserakan dimana-mana, badanku membengkak penuh lebam bekas tamparan dan pukulan. Tapi aku merasa puas, dan bahagia, bahkan sedikit ketagihan.

***

“Darimana kau semalam?” Suara berat ayah menyambutku di ruang tamu. Ruangan itu seakan beku, meski terasa hangat mentari masih tersipu menembus celah-celah kelambu.

“Apa pedulimu yah? Tak ada pelampiasan ketika aku tak pulang?” Entah terasuki setan darimana, aku tiba-tiba lancang berteriak. Mungkin aku hanya merasa muak. Benar saja, tanpa banyak bicara ia menghampiriku. Mencengkram keras daguku sambil mendorongku hingga bersandar kasar di balik pintu. Kurasakan rahang-rahangku kaku.

Matanya berkilat kemarahan teramat. Semetara aku masih memberanikan diri melihat matanya dengan tatapan menantang. Tapi sungguh, aku gemetaran. Aku berani hanya karena bosan menjadi pelampiasan.

Seakan kesetanan, tangan ayah dengan kasar melucuti pakaianku, tampaklah buah dadaku yang masih berkembang. Terpampang jelas di kedua bola matanya. Matanya tajam melihat bilur-bilur membiru bekas pukulan pria semalam. Sedetik kemudian ia berpaling, lalu mulai melampiaskan nafsunya sekali lagi.

Aku memilih membeku.

Ayah tertawa puas setelahnya. Meninggalkanku tanpa selembar pakaian, di atas ubin kayu yang dingin. Aku masih memilih membeku, melupakan cara berbicara, berteriak atau bahkan bergerak. Ayahku yang jahanam kembali lagi meghampiriku, membawakan selembar selimut tua dan menggenggam sebuah pigura. Tampak jelas foto ibu tersenyum didalamnya. “Tidurlah nyenyak..” Bisik ayahku. Bedebah sialan, selalu bersikap lembut setelah melampiaskan. Membuatku tak jarang ketagihan.

***

Aku kembali bersama sang pria asing yang kutemui di klub. Kuajak ia ke kamarku. Bila perlu, aku akan mengajak ayah bergabung. Aku mulai kesetanan dan sangat ketagihan. Aku tak peduli pintuku tak terkunci, aku sengaja membuatnya sedikit terbuka. Pelampiasan! Hanya itu yang kupikirkan. Aku sedang berada di awang-awang saat ayahku datang. Dengan murka ia menghantam pria itu dengan kursi. “Tidak ada yang boleh merenggut milikku,” teriak ayah gusar. Aku tercenung ketakutan. Tak kurasakan jemari ayah kembali melucuti pakaianku dengan kasar.

***

Aku benar-benar mati rasa. Aku tak peduli ayah sibuk menyembunyikan mayat pria asing itu. Aku semakin tak peduli dengan dunia. Masa depanku hacur tak bersisa. Aku marah, sangat marah. Aku membenci hidupku. Takut, gelisah, sedih, hancur, marah, semua hanya bisa tumpah dalam isak yang diam-diam kurendam dalam kubang kenistaan.

Tuhan. Nama agung yang entah kapan terakhir kali kupuji. Wangi terindah yang entah kapan terakhir kuciumi. Dekap ternyaman yang entah kapan terakhir kujadikan sandaran. Tetiba aku sangat merindunya. Ah, berani sekali aku merindunya setelah bersimbah dosa tak terkira. Aku merasa kotor. Sangat kotor dan tak berharga. Bahkan ayahku sendiri meniduriku!

Aku mencari silet mungil yang selalu kujadikan kawan. Aku mencarinya diatas tumpukan puntung rokok dan bekas botol-botol bir yang kusesap tiap malam. Semuanya bertumpuk diatas meja usang yang seharusnya kupakai belajar. Persetan, aku bahkan lama tak menjamah sekolah.

Tersenyum getir kumainkan ujungnya, hingga akhirnya kusayat-sayat dadaku. Sesekali kugigit bibir bawahku menahan perih, tapi setelah itu rasa lega menjalari hatiku saat kulihat darah segar menganak sungai di tubuhku. “Akan kusayat seluruh bagian tubuhku, satu per satu. Hingga kalian tak bisa lagi melihat tubuh mulusku, Setan!”

Tinggalkan komentar